06 Februari, 2013

LAYU SEBELUM BERKEMBANG

 

Alkisah, ada seorang anak yang sangat menyenangi bunga. Ia ingin rumahnya ditumbuhi oleh bunga-bunga indah. Karena itu, saat akan berulang tahun, ia pun meminta hadiah kepada orangtuanya.
“Papa, mama. Aku ingin sekali punya tanaman bunga yang indah seperti di taman kota, seperti waktu Papa ajak aku jalan-jalan tempo hari,” pinta si bocah.

Keesokan harinya, tepat di hari ulang tahunnya, permintaan itu dikabulkan. Sebuah pot bunga berisi tumbuhan segar diberikan sebagai hadiah.
“Terima kasih Pa, Ma.. Tapi, ini kok nggak ada bunganya?” tanya si bocah polos.
“Bunga yang kamu inginkan itu memang hanya tumbuh saat musimnya datang,” jawab kedua orangtua itu sabar. “Yang penting, rawat tanaman ini baik-baik, sirami, dan pelihara sungguh-sungguh.”

Si bocah pun mematuhi kata-kata orangtuanya. Setiap hari, disiraminya tanaman bunga yang diletakkan di pinggir jendela kamarnya itu. Hari demi hari berlalu. Tak terasa, sudah dua minggu lebih tanaman itu ada di kamar si bocah. Tanaman itu terlihat makin segar karena rajin disiram oleh si bocah. Tapi, yang ditunggu-tunggu si bocah tak kunjung tiba. Tanaman itu baru memunculkan satu dua kuncup calon bunga. Maka, si bocah pun bertanya kepada kedua orangtuanya.
“Papa Mama, mengapa aku sudah rajin menyiram dan merawat, yang muncul hanya kuncup ini? Mana bunganya?”
“Nak, sabar. Kuncup itu akan jadi bunga indah yang kamu inginkan. Terus rawat. Maka kuncup itu akan mekar pada waktunya…” nasihat kedua orangtuanya sabar.

Si bocah mengangguk. Namun, dalam hatinya ia sedikit kecewa. Sudah cukup lama ia menanam dan merawat, tapi yang ia dapat hanya kuncup bunga.
Tak terasa, seminggu kemudian, kuncup itu pun terlihat hendak mekar. Warna kuning merekah sudah terlihat dari dalam kuncup itu. Si bocah kegirangan. Dikiranya, bunga itu segera akan mekar. Maka, ia pun segera meraih kuncup bunga yang hendak merekah itu. Ia merasa, bunga itu harus dibantu untuk bisa keluar dan menghiasi kamarnya.

Tanpa ia sadar, tindakannya itu justru merontokkan bunga yang hendak mekar. Bunga yang memang sedang menunggu saat tepat untuk merekah itu justru layu saat dibantu tangan bocah untuk mekar. Bocah itu pun menangis. Ia menyesali perbuatannya yang hendak membantu mekarnya bunga, malah mematikan bunga itu.
Netter yang Luar Biasa,
Kisah tadi adalah sebuah pelajaran kehidupan, bahwa tidak ada sesuatu yang instan. Kita bisa saja mempercepat proses untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi, jika memang belum saatnya untuk “matang”, hampir bisa dipastikan, apa yang didapat, tak memiliki fondasi yang kuat. Akibatnya, sukses yang diperoleh pun akan mudah tumbang, mudah goyah, dan mudah pula ditiup badai kehidupan. 

Karena itu, sadari sepenuhnya, bahwa semua butuh diperjuangkan dengan proses yang tak bisa instan. Justru, dengan melewati berbagai halangan, tantangan, dan kesulitan, akan mendewasakan.
Mari, jangan pernah menyerah saat proses hidup terasa menyulitkan. Sebab, di sanalah kita akan digembleng menjadi insan dengan “akar” kuat yang saatnya matang kelak, akan jadi pribadi hebat penuh manfaat

AIR MINUM DI HUTAN

 

Alkisah, seorang pria tersesat di hutan yang sangat gersang. Ia sempoyongan karena hampir mati kehausan. Tak disangka, ia bertemu dengan sebuah rumah kosong. Di depan rumah tua tanpa jendela dan hampir roboh itu, terdapat sebuah pompa air. Segera ia menuju pompa itu dan mulai memompa sekuat tenaga. Tapi, tidak ada air yang keluar.
Lalu ia melihat ada kendi kecil di sebelah pompa itu dengan mulutnya tertutup gabus dan tertempel kertas dengan tulisan, ”Sahabat, pompa ini harus dipancing dengan air dulu.. Setelah mendapatkan airnya, mohon jangan lupa mengisi kendi ini lagi sebelum pergi.” Pria itu mencabut gabusnya dan ternyata kendi itu berisi penuh air.
“Apakah air ini harus dipergunakan untuk memancing pompa? Bukankah lebih aman saya minum airnya dulu? Daripada nanti mati kehausan, kalau ternyata pompanya tidak berfungsi. Untuk apa menuangkan air sebanyak ini ke pompa karatan hanya karena instruksi di atas kertas kumal yang belum tentu benar?” Begitu pikirnya.
Untung suara hatinya mengatakan bahwa ia harus mencoba mengikuti nasihat yang tertera di kertas itu, sekali pun berisiko. Lantas, ia menuangkan seluruh isi kendi itu ke dalam pompa yang karatan tersebut dan dengan sekuat tenaga memompanya.
Benar!! Air keluar dengan melimpah. Pria itu minum sepuasnya.
Setelah istirahat memulihkan tenaga dan sebelum meninggalkan tempat itu, ia mengisi kendi itu sampai penuh, menutupkan kembali gabusnya dan menambahkan beberapa kata di bawah instruksi pesan itu: “Saya telah melakukannya dan berhasil. Engkau harus berkorban terlebih dahulu sebelum bisa menerima kembali secara melimpah. PERCAYALAH!! Inilah kebenaran hukum alam.”
Netter yang Luar Biasa,
Hidup ini, tidak selalu harus menerima, baru memberi.  Tetapi ada kalanya, bahkan seringkali, kita harus memberi dulu, baru menerima. Bukan seperti kata-kata dalam bahasa Inggris yang populer dan sering kita dengar: “Take and Give” (mendapatkan dan memberi) tetapi seharusnya “give and take” (memberi dan mendapatkan).
Dalam kehidupan ini, sebenarnya sumber kebahagiaan  adalah memberi (baik memberi layanan, pertolongan, perjuangan, atau pengorbanan). Barulah kita akan menikmati apa-apa yang pantas kita dapatkan.
Mari, miliki inisiatif untuk memberi dan memberi terlebih dahulu. Maka anugerah terindah pasti disuguhkan kepada kita.

SULIT MENYENANGKAN HATI SEMUA ORANG

 

Alkisah, suatu siang yang terik, tampak seorang pengusaha mendatangi sebuah toko mebel dikawasan pusat bisnis di sebuah kota. Pengusaha itu datang dengan membawa kursi sofa yang terbuka jahitannya. Sambil memasang muka yang marah, dengan lantang dia berkata kepada penjual di situ dengan menunjuk ke kursi sofa yang dibawanya, “Lihat sofa ini. Saya sudah membayar dengan harga mahal dan sofa ini telah terbuka jahitannya sebelum dipakai!”
Dengan sabar, si pemilik toko meladeni omelan dan kemarahan tamunya dengan penuh perhatian. Setelah melihat kerusakan kursi sofa tersebut, si pemilik toko berkata, “Baiklah, Pak. Jangan kuatir. Saya akan berusaha membantu memperbaiki jahitan kursi sofa ini sebaik-baiknya. Besok silakan bapak ambil kemari atau kapan pun bapak ada waktu.” Mendengar kata-kata sopan itu, redalah kemarahan si pemilik sofa. Ia pun pergi meninggalkan sofanya untuk diperbaiki dan berjanji akan datang kesokan harinya untuk mengambilnya.

Sepeninggal si tamu, anak pemilik toko mebel itu mendekati ayahnya dan berkata. “Tamu tadi sungguh keterlaluan. Marah-marah tidak pada tempatnya. Bukankah sofa ini bukan buatan kita dan dibeli dari toko kita? Mengapa ayah tidak berusaha menjelaskan, malahan masih mau memperbaiki sofa itu?” tanya si anak penasaran. Di sekitar toko itu memang ada beberapa toko mebel lain yang menjual sofa, dengan desain yang satu sama lain saling memiliki kemiripan.
Dengan sabar, sambil tersenyum si ayah memberi tahu putranya. “Camkan ini baik-baik anakku! Memang, Ayah tahu ini bukan sofa yang kita jual. Tapi tidak ada ruginya membantu perbaikan kecil dan tidak merepotkan ini. Dengan kita membantunya, maka tamu tadi pasti akan datang ke sini lagi. Dengan begitu, kita akan memiliki pelanggan baru. Apakah kamu mengerti?” ujarnya menjelaskan.

Begitulah, si pemilik toko mebel mengubah mejengkelkan dan ketidakpuasan menjadi sebuah pelayanan dengan dampak keuntungan di kemudian hari. Dan memang, pengusaha yang awalnya marah-marah dan mengeluhkan kerusakan sofa itu, meminta maaf atas kekeliruannya karena melepas kemarahan bukan pada tempatnya dandi kemudian hari menjadi pelanggan setia toko mebel itu.
Kisah ini konon berasal dari pengalaman sebuah toko mebel ternama ketika sedang di masa-masa awal membangun bisnisnya.  Ternyata, tidak selamanya ketidakpuasan itu berdampak negatif. Dan  pengertian bahwa “kita tak bisa menyenangkan semua orang” seharusnya bisa kita sikapi dengan cara yang bijak. Sebab, bisa jadi, ketidakpuasan yang diungkap, malah akan jadi evaluasi—atau bahkan peluang, seperti dalam kisah di atas—untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Mari, ubah ketidakpuasan yang muncul menjadi sebuah pembelajaran. Yakni, pembelajaran untuk jadi lebih baik, lebih dewasa, dan lebih berkembang.  Dengan begitu, saat kita tak bisa menyenangkan semua orang, justru akan jadi evaluasi terbaik untuk memajukan perusahaan.