28 Ogos, 2013

KEJUJURAN

KEJUJURAN !

Berlatih Untuk Jujur
Kedamaian fikiran akan datang ketika kita berlatih untuk jujur, terutama terhadap diri kita sendiri. -Jack R. Rose-

Kejujuran adalah batu penjuru dari segala kesuksesan, Pengakuan adalah motivasi terkuat. Bahkan kritik dapat membangun rasa percaya diri saat “disisipkan” diantara pujian. ~May Kay Ash~

Jujur mungkin sulit. Tapi saat berbohong, kamu tak hanya membohongi orang lain tapi juga hatimu sendiri. ~ @MotivatorSuper-

Hendaklah engkau jujur meski hal tersebut merugikanmu, namu kejujuran sangat bermanfaat bagimu. Dan jauhilah kebohongan meski ia menguntungkanmu, namun sejatinya kebohongan merugikanmu. (Asy-Sya’bi)

Kalau kejujuran memiliki warna, maka waran kejujuran itu putih bersih sedangkan kebohongan hitam kotor dan kumuh

RAHSIA KESEMPATAN


 

Suatu pagi tidak jauh dari sebuah pasar, tampak seorang pemuda sedang tidur bermalas-malasan. Walau pasar dipenuhi oleh para penjual dan pembeli yang berlalu lalang, namun si pemuda tampak tenang-tenang saja dengan kemalasannya...

Kebetulan lewatlah seorang pedagang yang baru saja berhasil menjual dagangannya. Si pedagang tampak keheranan melihat tingkah pemuda tadi. Ia menghampiri dan bertanya, "Anak muda, pagi begitu indah. Semua orang sibuk bekerja, tapi mengapa engkau hanya tidur-tiduran di sini?" Sambil memicingkan sebelah mata, si pemuda menjawab dengan suara malas, "Aku sedang menunggu kesempatan."

Mendengar jawaban seperti itu, si pedagang tampak keheranan. "Apakah kau tahu seperti apa bentuk kesempatan yang kamu tunggu itu?" Pemuda itu menggelengkan kepala. "Kata orang, aku harus menunggu kesempatan datang, baru kemudian nasibku bisa berubah baik. Lalu aku bisa kaya, bisa sukses, bisa memiliki apa saja yang aku mau. Karena itulah aku dengan sabar menunggu kesempatan datang di sini," jelas si pemuda.

"Bentuknya saja kamu tidak tahu, buat apa kamu tunggu? Lebih baik ayo ikut membantu aku melakukan hal berguna. Kelak nasibmu akan berubah jika kau mau belajar mengikuti jejakku," bujuk si pedagang.

"Ahh, omong kosong.. Pergi sana! Jangan menggangguku lagi!" teriak si pemuda, kesal. Karena dihardik, si pedagang buru-buru pergi meninggalkan si pemuda itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sesaat kemudian, datang seorang kakek tua menghampiri si pemuda. Kakek tua masih sempat memandangi langkah kepergian si pedagang. Lalu ia menoleh kepada si pemuda. "Hai.. anak muda. Aku perhatikan, sudah lama kamu tidur-tiduran menunggu kesempatan di tempat ini. Apa kau sudah mendapatkan kesempatan itu?"

Si pemuda dengan malas menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lho, bukankah kesempatan itu baru saja menghampirimu? Mengapa tidak kau tangkap, tapi malah kau usir? Orang yang kau usir tadi adalah seorang pedagang besar dari negeri seberang yang kaya raya. Mengapa tidak kau terima ajakannya..?" si kakek keheranan. Mendengar ucapan itu, si pemuda seolah baru tersadar dari mimpinya. Ia bergegas bangkit dan berteriak-teriak memanggil si pedagang tadi. Namun sayang, pedagang itu sudah tidak tampak lagi. Walau begitu, si pemuda tetap memanggil-manggil dia.

"Percuma teriak-teriak. Kesempatan itu sudah berlalu," ujar si kakek. Pemuda itu tampak sedih dan ingin menangis. Ia tertunduk lesu dan tak tahu harus berbuat apa untuk mendapatkan kesempatan. Karena pikirannya yang sempit, kesempatan berlalu begitu saja dan penantiannya pun sia-sia belaka. "Aku harus bagaimana, Kek? Apakah seumur hidup aku tidak akan memiliki kesempatan lagi?" tanya si pemuda penuh penyesalan.

"Kesempatan datang pada setiap orang tidak hanya sekali seumur hidup. Bila yang satu terlewatkan, suatu ketika pasti akan datang kesempatan lain," jawab si kakek dengan bijak. "Tetapi dia tidak datang dengan sendirinya. Kesempatan harus diciptakan dan diperjuangkan! Kau juga harus tahu, tidak ada satu saat pun yang benar-benar tepat untuk memulai mencari dan menemukan kesempatan. Makanya anak muda, jangan hanya menunggu. Mulailah berusaha, bekerja, berjuang. Kesempatan pasti akan tiba pada waktunya. Dan saat kesempatan tiba di hadapanmu, kamu telah siap!"

Dengan gembira, si anak muda mengucapkan terima kasih. Walau di dalam hatinya ada penyesalan karena telah kehilangan kesempatan, tapi dia tahu bahwa bila dirinya mulai berusaha dan berjuang, maka suatu hari nanti kesempatan pasti datang padanya.

Netter yang luar biasa,

Hidup adalah pilihan. Kita sebagai manusia mempunyai hak untuk memilih, termasuk memilih kesempatan apa saja yang kita inginkan, dengan cara memutuskan, menciptakan, dan memperjuangkan kesempatan itu.

Memutuskan berarti menciptakan komitmen untuk mendapatkan kesempatan melalui keaktifan kita. Menciptakan berarti mengambil langkah-langkah pasti supaya peluang-peluang tercipta atau mendatangi kita karena sikap proaktif. Sementara memperjuangkan berarti membuat usaha-usaha yang benar supaya kesempatan dapat dimanfaatkan dan memberikan hasil seperti yang kita inginkan.

Kadangkala, kesempatan itu pada awalnya tampak sepele sekali. Tapi jangan remehkan kesempatan sekecil apa pun. Seringkali pencapaian besar justru diawali dari kesempatan-kesempatan kecil, yang umumnya dilewatkan banyak orang. Dan benar, hanya orang-orang yang mampu mengenali kesempatan saja yang bakal mendapatkan manfaat terbesar darinya. Mereka yang berhasil biasanya jeli memanfaatkan kesempatan-kesempatan kecil dan kemudian melakukan tindakan-tindakan yang tepat untuk mendapatkan manfaat terbesar. Merekalah yang disebut sebagai orang-orang yang beruntung. Semoga Anda termasuk orang yang beruntung itu!

SECANGKIR KOPI


 

Alkisah, sebuah liburan panjang diisi oleh sekumpulan sahabat untuk melakukan reuni. Sudah dua puluh tahun lebih mereka berpisah dan baru tahun itu mereka bisa berkumpul. Untuk itu, mereka sepakat untuk menemui gurunya ketika bersekolah dulu. Mereka hendak berterima kasih, bahwa dengan ajaran dari sang guru, mereka kini telah sukses dengan bidangnya masing-masing.

Maka, di sebuah sore yang hangat, mereka pun datang bersama-sama mengunjungi sang guru. Mereka saling bercanda, mengenang masa kenakalan ketika remaja. Kemudian satu sama lain mulai berkisah tentang perjuangan hidup yang mereka lalui. Ada yang sudah jadi bos besar di perusahaan multinasional. Ada pula yang menjadi pengusaha sukses di bidang transportasi. Ada pula yang mengaku sudah melanglang buana ke hampir semua benua untuk memenuhi impiannya.

Melihat percakapan seputar kesuksesan yang sudah hampir melampaui batas, sang guru pun meminta izin untuk ke belakang rumah. Rupanya, ia mengambil beberapa cangkir kopi dan satu teko berisi kopi panas yang siap diseduh. Uniknya, cangkir yang diberikan terdiri dari beragam bentuk dan terdiri pula dari beragam bahan. Ada yang dari keramik, kristal, kaca, melamin, dan ada pula yang hanya terbuat dari plastik biasa.

“Sudah, sudah.. Ngobrolnya berhenti dulu. Ini Bapak sudah siapkan kopi buat kalian,” sebut sang guru memecah keasyikan obrolan mereka.

Hampir serempak, mereka kemudian berebut cangkir terbaik yang bisa mereka dapat. Akhirnya, di meja yang tersisa hanya satu buah cangkir plastik yang paling jelek. Lantas, setelah semua mendapatkan cangkirnya, sang guru pun mulai menuangi cangkir itu dengan kopi panas dari teko yang telah disiapkannya.

“Mari, silakan diminum,” ajak sang guru, yang kemudian ikut mengisi kopi dan meminum dari cangkir terakhir yang paling jelek. “Bagaimana rasanya? Nikmat kan? Ini dari kopi hasil kebun keluarga saya sendiri.”

“Wah, enak sekali Pak.. Ini kopi paling sedap yang pernah saya minum,” timpal salah satu murid yang langsung diiyakan oleh teman yang lain.

“Nah, kopinya enak ya? Tapi, apakah kalian tadi memperhatikan. Kalian hampir saja berebut untuk memilih cangkir yang paling bagus hingga hanya menyisakan satu cangkir paling jelek ini?” tanya sang guru.

Murid-murid itu pun saling berpandangan. Mereka bertanya-tanya, apa maksud gurunya bertanya seperti itu. Maka sang guru pun kembali meneruskan ucapannya. “Tak salah memang untuk memilih apa saja yang terbaik. Malahan, itu sangat manusiawi. Tapi masalahnya, ketika kalian tidak mendapatkan cangkir yang bagus, perasaan kalian mulai terganggu. Kalian melihat cangkir yang dipegang orang lain dan mulai membandingkannya. Akibatnya, pikiran kalian terfokus pada cangkir. Padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkir, melainkan kopinya. Dan, kalian sendiri mengaku bahwa kopi ini adalah kopi terenak. Jadi, tolong pikirkan baik-baik. Hidup kita seperti  kopi dalam cangkir tersebut. Sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang kalian miliki.”

Sang guru pun kembali meneruskan wejangannya. “Karena itu, jangan pernah biarkan cangkir memengaruhi kopi yang kita nikmati. Cangkir bukanlah yang utama, sebab kualitas kopi itulah yang terpenting. Jangan berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karier yang bagus, dan pekerjaan mapan yang kalian banggakan tadi merupakan jaminan kebahagiaan. Namun sejatinya, kualitas hidup kita ditentukan oleh ‘apa yang ada di dalam’ bukan ‘apa yang kelihatan dari luar’. Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tidak pernah merasakan damai, sukacita, dan rasa bahagia dalam kehidupan kita? Itu sangat menyedihkan, karena itu sama seperti kita menikmati kopi basi yang disajikan di sebuah cangkir kristal yang mewah dan mahal. Jadi, kunci menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkirnya, tetapi seberapa bagus kualitas kopinya.”

Semua murid itu pun tertunduk malu. Mereka merasakan inilah reuni yang membuat mereka kembali “membumi”. Mereka pun berjanji, akan menjadikan pembelajaran cangkir kopi tersebut untuk menjadikan sukses yang diraih memberi kemanfaatkan kepada lebih banyak orang, dan bukannya menjebak mereka dalam kesombongan.

Sahabat Luar Biasa...,

Status, pangkat, kedudukan, jabatan, kekayaan, kesuksesan, keterkenalan, adalah sebuah predikat yang disandang. Tak salah jika kita mengejarnya. Tak salah pula bila kita ingin memilikinya. Namun, semua itu tak akan kita miliki selamanya. Semua hanya akan langgeng jika kita sebagai subjek—alias pemilik sejati kekayaan yang sebenarnya—memiliki kualitas dalam diri yang bersih, bernilai, bermartabat, dan penuh kebersahajaan.

Ibarat pepatah, manusia mati meninggalkan nama, maka nama seperti apa yang akan dikenang orang, itulah cerminan sejati apa yang sudah kita berikan pada sekeliling kita selama ini. “Nama” itulah “isi kopi” sesungguhnya yang harus kita jaga, rawat, dan sekaligus kita bagi untuk mendatangkan kemanfaatan pada lebih banyak orang.

Mari, kita jadikan “isi” dalam diri kita sebagai cerminan positif yang bisa selalu kita hadirkan untuk mendatangkan keberkahan, kebahagiaan, dan kesuksesan sejati