04 November, 2014

MENGELOLA EMOSI

 


Alkisah, ada pengusaha muda yang merupakan pelanggan sebuah kedai kopi di tengah kota. Semua karyawan di sana sampai bos pemilik kedai mengenal baik dan memberi pelayanan yang terbaik untuk pelanggan setia ini.
Hingga suatu sore, seperti biasa, pengusaha muda itu telah menempati meja sudutnya, terlihat menikmati sore itu dengan membaca pesan di ponselnya, sambil menunggu pesanannya. Tidak lama kemudian tampak pelayan mendatangi mejanya sambil membawa secangkir kopi panas. Tetapi karena kurang hati-hati dan tidak konsentrasi, saat mengangkat cangkir, kopi panas itu mendadak tumpah membasahi ponsel, baju, dan celana mahalnya.

“Heii!!! Aduuh panas... mata kamu ke mana!?” Serunya terkejuit, sambil berdiri. Tangannya sibuk membersihkan tumpahan kopi. Sesaat dia menatap marah kepada si pelayan yang ketakutan.

“Kamu orang baru ya! Keterlaluan! Ini handphone, baju, dan celana mahal tahu enggak? Pakai apa kamu gantiinnya, hah?!!” Teriakan marahnya membuat si pelayan gemetar terdiam dan seisi kedai menoleh.

Pemilik kedai pun segera berlari menghampiri, “Maaf Tuan, maaf. Ini kesalahan kami." Ia dengan sigap membersihkan pecahan cangkir dan tumpahan kopi, dan meminta pelayan lain untuk segera mengantarkan secangkir kopi gratis sebagai permintaan maaf.

“Ini pelayan baru. Tolong dimaafkan," kata owner, kepada pengusaha muda itu. "Dia baru dua hari kerja. Suaminya baru saja meninggal karena kebakaran di tempat tinggal mereka. Dia dan ketiga anaknya berhasil selamat dan saat ini mereka harus tinggal di tempat penampungan sementara. Saya menerima kerja juga karena kasihan. Mungkin dia masih belum pulih sehingga kehilangan konsentrasi dan melakukan kesalahan ini. Maaf sekali lagi, Tuan. Jika harus mengganti, saya yang bertanggung jawab." Mendengar keterangan itu, walaupun masih jengkel melihat celana dan baju putihnya yang terkotori oleh kopi, tetapi api kemarahan yang meluap tadi mendadak surut, malah berbalik empati dan mau mengerti.

Netter yang berbahagia,
Emosi negatif seperti marah, iri, benci dan sebagainya, sering menghampiri kita dengan memakai berbagai alasan untuk membenarkannya. Padahal kita tahu, emosi negatif mampu merusak akal sehat dan berpotensi melukai diri sendiri dan orang lain.

Mari ubah sudut pandang, cari alasan berbeda untuk mengelola emosi negatif menjadi positif, sehingga kehidupan kita tidak tergerogoti penyakit miskin mental, yang pasti merugikan diri sendiri.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan