22 Jun, 2012

KASIH IBU TIADA BANDINGNYA

Kasih Ibu Tiada Taranya
Alkisah di sebuah desa, ada seorang ibu yang sudah tua, hidup berdua dengan anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal kerana sakit. Sang ibu sering meratapi nasibnya memikirkan anaknya yang mempunyai tabiat sangat buruk iaitu suka mencuri, berjudi, mabuk, dan melakukan tindakan-tindakan negatif lainnya. Ia selalu berdoa memohon, "Tuhan, tolong sedarkan anak yang ku sayangi ini, supaya tidak berbuat dosa lagi. Aku sudah tua dan ingin menyaksikan dia bertobat sebelum aku mati." Tetapi, si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya.

Suatu hari, dia dibawa ke hadapan raja untuk diadili setelah tertangkap lagi ketika mencuri dan melakukan kekerasan di rumah penduduk desa. Perbuatan jahat yang telah dilakukan berkali-kali, membawanya dijatuhi hukuman pancung. Diumumkan ke seluruh desa, hukuman akan dilakukan di depan rakyat desa keesokan harinya, tepat pada saat lonceng dipukul menandakan pukul enam pagi.

Berita hukuman itu membuat si ibu menangis sedih. Doa pengampunan terus dikumandangkannya sambil dengan langkah lemah gemulai dia datang kepada raja untuk memohon anaknya jangan dihukum mati tetapi keputusan tidak boleh dirubah! Dengan hati hancur, ibu tua kembali ke rumah.

Keesokan harinya, di tempat yang sudah ditentukan, rakyat telah berkumpul di lapangan pancung. Tukang pancung bersiap dan anak pun pasrah menyesali nasib dan menangis saat terbayang wajah ibunya yang sudah tua. Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Namun setelah lewat lima minit dari pukul 06.00, lonceng belum berbunyi. Suasana pun mulai berisik. Petugas  lonceng pun kebingungan kerana sudah sejak tadi dia menarik tali lonceng tapi suara dentangnya tidak ada. Ketika mereka semua sedang bingung, tiba-tiba dari tali lonceng itu mengalir darah. Seluruh hadirin berdebar-debar menanti, apa yang terjadi? Ternyata di dalam lonceng ditemui tubuh si ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk bandul dan menggantikannya dengan kepalanya membentur di dinding lonceng.

Si ibu mengorbankan diri untuk anaknya. Malam harinya dia bersusah payah memanjat dan mengikatkan dirinya ke bandul di dalam lonceng, agar lonceng tidak akan berdentang demi menghindari hukuman pancung anaknya. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan menitiskan air mata. Sementara si anak meraung-raung menyaksikan tubuh ibunya terbujur bersimbah darah. Penyesalan selalu datang terlambat!

Sahabat,
Kasih ibu kepada anaknya sungguh tiada taranya. Betapapun jahat si anak, seorang ibu rela berkorban dan akan tetap mengasihi sepenuh hidupnya. Maka selagi ibu kita masih hidup, kita layak melayani, menghormati, mengasihi, dan mencintainya. Perlu kita sedari pula suatu hari nanti, kitapun akan menjadi orang tua dari anak-anak kita,  yang pasti kita pun ingin dihormati, dicintai dan dilayani sebagaimana layaknya sebagai orang tua.

Bila hidup di antara keluarga ataupun sebagai sesama manusia jika kita boleh saling menghargai, menyayangi, mencintai, dan melayani, niscaya hidup ini akan terasa lebih indah dan membahagiakan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan